[Sebuah Poros Alternatif Ketiga]
Oleh: Nasrudin Joha
Hiruk pikuk dinamika politik yang memenuhi diskursus publik adalah koalisi antar Parpol untuk merebut posisi jabatan politik. Seluruh poros koalisi, baik yang mendukung rezim atau yang membuat komitmen untuk mencari pemimpin baru di 2019, bukanlah poros dan arus politik yang mewakili atau melibatkan aspirasi dan untuk kepentingan umat.
Partai sibuk membuat manuver politik untuk mendapat kompensasi kekuasaan dalam komitmen kemitraan politik, tidak pernah menghadirkan dasar dan pijakan koalisi yang memperhatikan kepentingan umat. Salah satu petinggi partai, bahkan menyebut rival partai yang kontra terhadap kekuasaan hanya karena tidak memperoleh jatah "kue kekuasaan".
Pertarungan politik yang disuguhkan bukanlah pertarungan ide untuk memberikan yang terbaik untuk umat. Partai, misalnya tidak pernah mengajukan diskursus dialektika untuk menghapus utang luar negeri, mengambil alih seluruh tambang yang dikuasai swasta domestik maupun asing, solusi terhadap problematika pengangguran, isu kelautan, pertanian dan pangan, isu kebijakan impor, mengkonsolidasi sumber daya negara untuk menggantikan pajak mencekik sebagai sumber penerimaan negara, atau diskusi politik penting lainnya.
Partai justru sibuk rebutan jatah kekuasaan. Diskusi politik hari ini banyak dijejali dengan koalisi yang mendukung tokoh ini dan tokoh itu, mengajukan posisi ini dan posisi itu, mengajukan alternatif tokoh ini dan itu, dan seterusnya. Inti perdebatan hanya satu: REBUTAN KEKUASAAN. Bukan berebut untuk memberikan pelayanan politik kepada umat, dengan mengajukan alternatif solusi bagi berbagai problem politik yang mendera Umat.
Karenanya, ditengah umat harus ada gerakan politik yang membangun poros baru. Poros baru ini harus menghimpun dua kekuatan inti politik, dua pilar utama penyangga kekuasan, yakni pilar Umat dan Militer.
Poros ketiga ini adalah poros umat dan militer, poros yang bervisi politik jauh dan tidak terjebak pada politik praktis berebut posisi strategis untuk meraih kuasa dan jabatan. Poros baru yang akan mengantarkan bangsa ini menuju perubahan total menuju visi melanjutkan kehidupan Islam dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah.
Militer adalah simpul penting umat, militer tidak boleh dipinggirkan peranannya. Militer harus disadarkan dan memiliki kesadaran, bahwa militer adalah pilar penting dalam proses perubahan politik.
Tidak mungkin ada perubahan politik, tanpa izin dan persetujuan militer. Seluruh dinamika politik penting di dunia ini, tidak pernah lepas dari peran sentral militer selaku Ahlul Quwwah.
Bahkan, ketika periode Rasulullah SAW, militer di Madinah yang diwakili Aus dan Kazrat adalah pilar penting yang menopang berdirinya daulah Islam Madinah. Tanpa dukungan Jenderal Sa'ad bin Mu'adz, niscaya tidak akan mungkin berdiri entitas politik yang dipimpin Rasulullah SAW di Madinah.
Perubahan politik saat reformasi, juga tidak akan pernah terwujud meskipun rakyat mengepung gedung DPR berhari-hari, selama militer berdiri tegak disamping Soeharto. Begitu militer mengumumkan berdiri disamping rakyat, maka Soeharto akhirnya terpaksa harus mengumumkan berhenti dari jabatannya.
Hanya saja perubahan pada era reformasi hanya berfokus pada penggantian rezim. Sistem demokrasi sekuler warisan penjajah, tetap dilestarikan untuk mengatur negeri ini.
Karena itu, koalisi yang dibangun antara umat dan militer wajib memiliki visi untuk mengganti rezim sekaligus sistem. Mengganti rezim korup dan khianat dengan para pengemban dakwah Islam yang ikhlas, mengganti sistem sekuler demokrasi dengan sistem Islam Khilafah.
Kesadaran ini harus tergambar utuh, baik di benak umat maupun benak militer. Tidak boleh ada, meskipun satu helai rambut, keraguan dan kesimpangsiuran jalan perubahan, yang membuat umat dan militer gamang menapaki jalan perubahan.
Kerangka perubahan yang wajib dipahami oleh umat dan militer, untuk membangun koalisi permanen dalam rangka mengganti rezim sekaligus sistem demokrasi sekuler adalah sebagai berikut :
Pertama, niat dan tujuan perubahan adalah hanya diakadkan untuk meraih ridlo Alllah SWT. Kemurnian niat dan ketulusan akad, akan memudahkan proses perubahan terutama pengisian jabatan kekuasaan saat sistem Khilafah berdiri. Tidak akan ada pamrih atas ikhtiar perubahan, dengan menyandera visi perubahan melalui komitmen pamrih kekuasaan.
Kedua, harus tergambar secara rinci peta perubahan kondisi idiil yang dicitakan yakni bagaimana realitas penerapan Islam secara kaffah. Rincian peta Jalan ini harus dipahami secara menyeluruh oleh aktor kunci perubahan, dan didukung secara umum oleh mayoritas umat dan militer.
Ketiga, wajib merealisir peta perubahan dengan methode pemikiran, politik, tanpa fisik dan kekerasan. Tidak boleh ada anggapan, peta perubahan ini diambil melalui jalan kudeta atau people power. Jalan perubahan adalah melalui dakwah dan thoriqoh Tholabun Nusyroh, itu saja.
Keempat, sudah mulai dipahami dan dikalkukasi berbagai kemungkinan dan tantangan menjelang dan pasca pengumuman perubahan. Ada dua tugas yang penting. Pertama, menjaga keamanan entitas Khilafah baik dari Rongrongan didalam negeri dan potensi ekspansi dari luar negeri, ini tugas militer. Kedua, jaminan pelaksanaan penerapan syariah Islam secara kaffah dan proses mengemban dakwah Islam keseluruh penjuru akan, ini tugas politisi.
Keempat poin persiapan saat menjelang dan pasca perubahan ini wajib dipahami dan didetailkan secara rinci. Koalisi umat dan militer, jika telah mencapai kondisi yang memenuhi prasarat perubahan, maka aktivitas pembaiatan Khalifah dan deklarasi penubuhan daulah Khilafah tinggal soal waktu saja.
Karenanya, umat dan militer wajib berhimpun pada koalisi poros ketiga ini. Tidak ada jalan, kecuali harus ada kelompok politik yang menjadi mediator dan penghubung antara umat dan militer, untuk merealisir visi perubahan. Entitas kelompok politik ini adalah Partai Politik, Partai Allah dan pastinya bukan Partai Setan. [].
Posting Komentar