DEFINISI BUNTU ISLAM NUSANTARA

Oleh: Irkham Fahmi al-Anjatani

Para penganut Islam Nusantara sepertinya kurang teliti ketika mendefinisikan istilah "Islam Nusantara." Mereka menyebutkan, bahwa yang dimaksud Islam Nusantara adalah Islam yang ramah, toleran dan santun. Padahal, tanpa ada embel-embel 'nusantara' pun Islam sudah mengajarkan sikap ramah dan santun.

Oknum lah yang menjadikan citra Islam rusak. Mereka arogan, kasar, radikal dan anti dengan perbedaan, bahkan ikhtilaf dengan sesama umat Islam sekalipun, mereka beringas menyikapinya, maen usir, maen persekusi, tanpa mengedepankan tabayun dan diskusi. Inilah oknum perusak citra Islam.

Mereka menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan Islam Nusantara adalah Islam yang mau melestarikan tradisi kebiasaan para ulama terdahulu di nusantara, seperti tahlilan, marhabanan dan yang lainnya. Jika tidak seperti itu maka bukanlah Islam Nusantara, mereka tidak layak untuk hidup di Indonesia.

Kaum Isnus rupanya lupa atau memang tidak tau, bahwa para ulama nusantara pun dahulu terdiri dari berbagai paham keagamaan, tidak semua setuju dengan tahlilan dan marhabanan. Ada juga yang anti dengan praktik-praktik semacam itu, seperti KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), KH. A. Hasan (Persis), KH. Ahmad Surkati (Al-Irsyad Al-Islamiyyah), dsb. Dalam cita-cita perjuangannya, mereka hendak membersihkan akidah masyarakat dari praktik-praktik syirik dan bid'ah.

Seharusnya saat ini kaum Isnus pun membiarkan orang-orang yang anti serta melarang tahlilan dan tradisi-tradisi lainnya itu. Sebab, merekapun sedang melestarikan kebiasaan para ulamanya dahulu di nusantara.

Apa kaum Isnus mau menerima Muhammadiyah, MTA, Persis dan Al-Irsyad yang anti tahlilan itu sebagai kelompok Islam Nusantara juga? Kalau tidak, berarti mereka sendiri yang tidak tasamuh dan tidak menghargai perbedaan. Apalagi terang-terangan menyatakan; "yang tidak setuju dengan Islam Nusantara (versi mereka), silahkan keluar dari Indonesia!."

Jika mereka tetap kekeh dengan definisinya, tentang Islam Nusantara itu, apakah mereka juga menganggap FPI dan HTI sebagai Islam Nusantara? padahal FPI dan HTI juga termasuk paling getol melestarikan tradisi tahlilan, manaqiban dan maulidan.

Mereka bilang, Islam Nusantara adalah Islam yang ramah dan santun. Tidak kasar dan beringas. Tapi kenapa mereka tidak menganggap orang-orang HTI sebagai kaum Isnus juga? padahal mereka sudah sangat terkenal dengan keramahan dan kesantunannya. Ulil Absar Abdallah (Tokoh JIL) sendiri sudah mengakui akan hal itu. 

Menurutnya, tidak usah kita takut dengan orang-orang HTI. Mereka itu berbeda dengan gerakan-gerakan Islam lainnya. Mereka hanya ingin diskusi dan debat. Tidak lebih dari itu. Sehingga dia sendiri juga tidak setuju dengan sikap Banser yang cenderung maen otot ketika menghadapi HTI di berbagai daerah.

Masih banyak lagi yang lainnya, yang sebenarnya itu akan semakin menunjukan betapa kacaunya definisi Islam Nusantara. Diutak-atik bagaimanapun istilah itu akan menemui kebuntuan, karena istilah itu dibangun atas dasar ketidaksiapan dalam menghadapi perang pemikiran.

Allaahumma Innaa nas'aluka salaamatan fiddiin

#KhilafahAjaranIslam
#ReturnTheKhilafah
Cirebon, 12 Juli 2018

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget