Oleh: Irkham Fahmi al-Anjatani
Klaim legalitas, itulah yang saat ini saya rasakan dari warga Nahdlatul Ulama. Di antara mereka terbagi ke dalam dua kelompok utama, yang masing-masing saling mengaku sebagai kaum Nahdliyyin sejati. Ajaibnya, ini terjadi lantaran sikap politik mereka yang tidak sama, ada yang mendukung Capres nomor urut 01 dan ada yang mendukung nomor urut 02.
Ciri seseorang itu Nahdliyyin atau bukan saat ini sudah tidak lagi dilihat dari amaliahnya, tetapi dari sikap politiknya. Meskipun seseorang seneng tahlilan, maulidan dan sholawatan, tetapi apabila ia mendukung Prabowo Sandi sebagai Capres/Cawapresnya di periode yang akan datang, maka ia tidak berhak disebut sebagai orang Nahdlatul Ulama.
Fenomena semacam ini saya rasakan betul, begitu keras disuarakan oleh mereka yang fanatik mendukung rezim petahana. Melalui berbagai akun di dunia mayanya, yang mengklaim diri sebagai Generasi Muda NU dan yang lainnya, mereka pede sekali mewahabikan orang-orang yang mendukung Prabowo Sandi, sekalipun mereka bukan wahabi.
Bagi saya, ini adalah sebuah stigma buruk yang sengaja terus dibuat-buat oleh para pendukung rezim petahana, agar Nahdliyyin di kalangan bawah antipati dengan Capres nomor urut 02. Wajar saja itu dilakukan, karena jagoan mereka sendiri tidak mempunyai prestasi yang layak untuk dibanggakan. Akhirnya, mereka menggoreng fitnah kepada lawan politiknya, agar jagoan mereka tetap berkuasa.
Inilah model politik autoprestasi. Tidak mau instropeksi diri, mengapa jualannya semakin tidak dilirik oleh pelanggan. Yang ada hanya membuat fitnah dan tuduhan kepada pedagang lainnya, agar ia dijauhi oleh pembelinya. Buruk sekali mentalitas orang-orang semacam ini.
Mereka merasa, bahwa hanya kelompoknya lah yang NU, yang lain bukan NU. Jelas sekali, ini bentuk ta’ashub di dalam ta’ashub. Merasa suci dengan keorganisasiannya saja salah, apalagi merasa suci dengan kejokowiannya. Ini lebih parah lagi. Mereka rela petentengan dengan orang-orang yang sama-sama demen tahlilan dan sholawatannya.
Padahal, jika menurut mereka bahwa orang NU adalah yang mendukung Jokowi sebagai calon Presidennya, maka hakikatnya saat ini Nahdlatul Ulama sudah tidak lagi menjadi mayoritas saat ini. Karena banyak sekali orang NU yang saat ini tidak satu pandangan politik dengan mereka. Sebut saja keluarga besar Ponpest Sidogiri, Tebuireng, Al-Bahjah Cirebon dan masih banyak lagi yang lainnya.
Jika yang dimaksud kaum Nahdliyyin adalah mereka yang suka dengan tahlilan dan yasinan, maka saya meyakini bahwa saat ini NU masih menjadi kelompok Islam yang mayoritas di negeri ini. Tetapi, apabila ada penggambaran baru, bahwa kaum Nahdliyyin adalah mereka yang bersahabat dengan Syiah, berkawan dengan PKI dan Ahmadiyah, serta totalitas mendukung rezim petahana, maka saya meyakini bahwa saat ini NU sudah tidak lagi menjadi yang mayoritas.
Kekalahan Ahok pada Pilgub DKI Jakarta beberapa tahun yang lalu sudah cukup menjadi buktinya. Jika memang mereka mayoritas, niscaya Ahoklah yang menjadi pemenangnya, karena mereka terang-terangan mendukung Ahok sebagai jagoannya. Terlebih lagi mereka didukung oleh kekuatan non muslim dan medianya.
Nyatanya mereka kalah, tak bertenaga. Itu artinya klaim mayoritas mereka saat ini hanya isapan jempol semata. Mereka sendiri penyebabnya, karena mereka sudah membuat definisi baru tentang siapa dan apa itu Nahdlatul Ulama.
#Alumni212
#ReturnTheKhilafah
Cirebon, 23 Januari 2019
Posting Komentar