Isu radikalisme kian kencang seiring semakin masifnya penguasa terus menggelontorkan opini ini ditengah – tengah publik. Hal ini sebagai respon publik terhadap sikap politik pemerintah saat ini.
Pasca dilantiknya Presiden Jokowi. Seolah – olah negeri ini dalam keadaan darurat kelompok radikal. Sehingga tiga pos strategis kementerian ditempati oleh menteri “ tak sesuai pakem “. Sebagai ujung tombak perang melawan radikalisme. DetikNews.com, ( 07 / 11 / 2019 ).
Bahkan secara khusus Presiden menugaskan Menteri Agama Fachrul Razi untuk menangani persoalan isu radikalisme ini. Tentu isu radikalisme ini perlu diliha secara kritis agar tidak menjadi alat yang dapat mendeskreditkan umat Islam.
Pertama : Istilah radikalisme itu sendiri hingga detik ini masih sangat kabur sehingga tidak jelas apa definisi dan indikatornya. Akibat ketidakjelasan itu maka stigma radikal sangat rentan menjadi alat fitnah untuk memojokkan kelompok tertentu. Istilah radikal telah dikonotasikan dengan sesuatu yang negatif yakni sebagai pendorong terorisme. Semetara istilah moderat lawan dari istilah radikal dikonotasikan sebagai sesuatu yang positif.
Kedua : Ada upaya untuk mengaitkan isu radikalisme dengan terorisme. Itu bertumpu pada asumsi bahwa pemicu terorisme adalah radikalisme atau paham radikal. Mereka bisa mengatakan bahwa radicalism is only one step short terrorism. Artinya ada narasi yang ingin dibangun diranah publik bahwa Islam itu mengandung paham radikal yang nantinya akan melahirkan aksi terorisme.
Padahal aksi terorisme yang terjadi di negeri ini sendiri masih menjadi tanda tanya besar bagi umat Islam. Siapakah sebenarnya pelaku terorisme dan apa motif dibalik aksi tersebut. Memang bisa saja pelaku terorisme seorang muslim atau ada identitas keislaman yang melekat pada diri pelaku. Tapi siapa yang ada dibalik pelaku tersebut kabur dan gelap.
Ketiga : Ada indikasi kuat bahwa yang menjadi target isu radikalisme itu adalah Islam. Tidak hanya orang dan organisasinya, namun juga ajaran Islam itu sendiri yang akan dibidik. Misalnya belum lama ini ada sebuah lembaga kajian yang menyebut beberapa masjid kampus sebagai sarang radikalisme. Itu sebuah framing untuk memojokkan para mahasiswa aktivis dakwah Islam yang pusat aktivitasnya memang di masjid diberbagai kampus besar di negeri ini.
Tentu saja tuduhan semacam itu bagian dari penyesatan opini. Kalau kita perhatikan umat Islam yang memperjuangkan penegakkan Syariah secarah Kaffah itu dilakukan melalui dakwah. Sebuah proses yang bersifat edukatif dan argumentatif. Tidak ada satupun bukti bahwa perjuangan mereka itu disertai kekerasan apalagi aksi terorisme.
Keempat : Isu radikalisme itu sebenarnya merupakan isu global. Berbagai lembaga penting, seperti perguruan tinggi, memang sedang diseret untuk menjadi bagian dari agenda “ war on radicalism “ itu. Isu tersebut dulu muncul bersamaan dengan isu terorisme. Keduanya sama – sama dimunculkan oleh barat yang tujuannya sama yakni untuk melawan islam dan kaum muslimin. Amerika Serikat dibawah pimpinan Donald Tramp telah mengubah slogan “ Global War On Terrorism “ menjadi “ Global War On Radicalisme.
Perlu pula disadari, apa yang sekarang terjadi sesungguhnya bagian dari ghazwul – Fikri ( perang pemikiran ) yang memang gencar dilakukan oleh negara – negara Barat. Inilah fakta perang peradaban antara Islam dan Barat seperti yang diramalkan Hutington dalam buku nya The Clash Of Civilizations and the Remaking of World 0rder. Framing jahat terhadap Islam melalui isu radikalisme dan terorisme tentu merupakan bagian dari semua itu.
Jadi umat Islam harus menyambut clash of civilizations tersebut melalui dakwah argumentatif yang berbasis nalar, bukan teror. Sehingga nantinya akan tampak dengan jelas betapa mulianya sistem Islam dan betapa rusaknya sekulerisme – liberalisme yang dipropagandakan Barat. [TS]
Wallahua’lam bi ash shawab.
Oleh : Nafisah Mumtazah | Kelompok Removraiter
Gresik, Jawa Timur.
Posting Komentar