MENJAHIT JUBAH FIRAUN


Oleh : Nasrudin Joha 
"Desakan publik kuat untuk melakukan amandemen terkait dengan periodesasi. Presiden satu periode 8 tahun atau 3 periode (per periode) 5 tahun,"
[Bamsoet, 26/11]
Negeri ini ingin dikembalikan lagi pada masa era Fir'aun. Era, dimana titah Fir'aun menjadi UU yang mengikat rakyat. Era, dimana penguasa ingin menisbatkan dirinya sebagai Tuhan, berkuasa selamanya.

Setidaknya itulah, yang bisa ditangkap dari rencana massif para pesohor politik untuk mengamandemen konstitusi. Latar belakang amandemen, bukan karena adanya pokok pikiran yang memikirkan nasib rakyat. Tapi, lebih kepada bagaimana mengokohkan kekuasaan agar berlaku langgeng.

Isu amandemen awalnya dimunculkan seiring wacana penambahan masa jabatan Presiden hingga 7 (tujuh) tahun. Kali ini, wacana itu berkembang pesat menjadi 8 (delapan) tahun atau 3 (tiga) periode.

Mulanya Hendropriyono yang berbicara, melebar ke pengamat yang tidak jelas, Asrul Sani PPP, dan kini Bamsoet ketua MPR RI. Alasannya juga klasik, ada desakan publik terkait aspirasi publik. Entah, publik mana yang dimaksud Bamsoet.

Para penguasa dan begundalnya, sedang menjahit jubah Fir'aun agar bisa dikenakan Jokowi. Dengan jubah ini, Jokowi bisa menjadi Presiden seumur hidup. 

Saat masa jabatan Presiden 3 (tiga) periode diketok, Jokowi terpilih lagi untuk periode ke-3, tidak sulit bagi Jokowi untuk mengamandemen konstitusi agar jabatan Presiden bisa 5 (lima) kali atau seumur hidup. Jadi, jabatan 3 periode itu hanya DP saja.

Saat para penguasa mau mengubah konstitusi, tak ada satupun yang berteriak mereka telah menyelisihi kesepakatan para pendahulunya. Berdalih kewenangan, mereka seenak udelnya mengubah konstitusi.

Namun, begitu umat bergeliat inginkan syariat Islam, para begundal rezim berkoar-koar itu menyelisihi kesepakatan berbangsa. Lah, kalau MPR bisa meninggalkan rakyat dan bersepakat untuk mengubah konstitusi, kenapa rakyat tidak boleh melakukan hal yang sama ?

Jika para penguasa terus sibuk menjahit jubah fir'aun untuk Jokowi, kebijakan rezim terus membungkam setiap kehendak dan arus perubahan, persis seperti bayi laki-laki yang dibunuh Fir'aun, maka biarlah umat bersama 'kaum Musa' untuk memperjuangkan kedaulatannya sendiri.

Saat penguasa tak mendengar dan tak menghiraukan kehendak umat, saat penguasa suka-suka hati mengubah konstitusi untuk melanggengkan kekuasaanya, maka tak ada lagi kewajiban umat untuk taat pada kekuasaan yang demikian. Bahkan, menjadi sah dan beralasan jika umat juga melakukan sidang sendiri, melalui pergerakan-pergerakan masif, untuk mengamandemen konsepsi bernegara dari sekulerisme demokrasi menuju negara yang berdasarkan syariat Islam.

Kedaulatan semu MPR vs kedaulatan murni umat, yang dijalankan langsung oleh umat dibimbing para ulamanya. Ini adalah realitas politik yang tak terhindarkan, konsekuensi logis dari kekuasaan yang berlaku jumawa kepada rakyatnya. [].

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget