MAHFUD MD MATANYA KELILIPAN JABATAN MENKOPOLHUKAM ? TAK MELIHAT PRAKTIK PELANGGARAN HAM OLEH NEGARA ?


Oleh : Nasrudin Joha 

Mahfud Md menyebut tidak ada pelanggaran HAM dari pemerintah ke masyarakat. Dia berdalih, saat ini yang terjadi adalah konflik antarmasyarakat. 

Mahfud mengungkit saat terjadi demo besar pada 22 Mei 2019 yang memprotes hasil Pilpres 2019 yang awalnya tertib itu berakhir rusuh. Dirinya menyebut pemicu rusuh masyarakat yang dituding banyak  mengeroyok polisi. 

Masih menurut Mahfud, Peristiwa 22 Mei kejadiannya adalah aparat dianiaya. Pasca Orde Baru jatuh, perlindungan HAM di Indonesia menurut Mahfud terus membaik. Dia mengatakan, pada masa reformasi, tak ada kejahatan HAM. (10/12).

Sejak menjadi ketua BPIP, gagal menjadi calon Wapres namun akhirnya menjabat menkopolhukam, Mahfud menjadi kehilangan nalar dan nurani untuk menyimpulkan fakta yang terjadi ditengah masyarakat. Pada peristiwa 21-22 Mei, Mahfud hanya mengarahkan pandangannya kepada korban dari aparat. 

Bagaimana dengan korban dari pendemo, atau masyarakat umum yang tak terlibat tapi menjadi korban kebengisan aparat ? 

Apakah Mahfud tidak melihat korban remaja bernama Harun Ar Rasyid ? Farhan Syafero ? M. Reyhan Fajari ? Abdul Ajiz ? Bachtiar Alamsyah ? Adam Nooryan ? Widianto Rizky Ramadan ? Sandro ? dan masih ada lagi yang tanpa identitas ? Mereka semua meninggal menjadi korban kebengisan kekuasan rezim, korban peristiwa 21-22 Mei.

Kalau lah polisi ada yang menjadi korban, tapi coba sebutkan adakah korban dari pihak polisi yang meninggal ? Mana ada korban bisa selamat sementara rakyat yang dituding pelaku perusuh justru meregang nyawa, jasadnya menjadi mayat.

Mahfud juga kurang piknik, apakah kematian Randi dan Yusuf, mahasiswa Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, yang menjadi korban saat unjuk rasa menentang UU KPK bukan pelanggaran HAM ? Bagaimana mungkin ada pendemo mati tertembus peluru, siapa otoritas yang punya hak pegang senjata ? Rakyat ? Tukang kebun ? Petani ? Tukang bakso ? Atau polisi ?

Bagaimana pula temuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang mengungkap ada 78 kasus pelanggaran dalam unjuk rasa sepanjang 2019 di seluruh Indonesia. Dari kasus itu, 51 orang tewas, dan 44 orang di antaranya tewas misterius. Ini apa ? Bukan pelanggaran HAM ? Cuma kecelakaan biasa ? Atau bahkan tidak dianggap penting jumlah nyawa yang mati ini ?

Belum lagi, ada 700 lebih anggota KPPS yang mati misterius. Negara, tidak menyediakan sarana yang memungkinkan dilakukan penyelidikan secara utuh dan mendogma masyarakat agar percaya bahwa penyebab kematian adalah kecapekan.

Mahfud juga berdalih adanya perselisihan itu umumnya antara kelompok masyarakat, bukan dengan negara. Namun ketika negara diam melihat rakyatnya berselisih, tidak menjadi penengah dan Hakim yang mengadili, bahkan membiarkan gesekan meruncing, apakah itu tindakan yang dibenarkan ? 

Contoh kasus penistaan agama, memang elemen masyarakat terpecah belah karenanya. Bagi yang cinta agama, cinta ulama, cinta Rasulullah, cinta ajaran Islam, tentu tak ridlo agamanya dilecehkan. 

Namun, negara justru bungkam bahkan menjadi bungker kekuasaan untuk berlindung para penista agama. Kasus Busukma dan Muwafiq, menjadi contoh paling mutakhir. 

Gesekan ditengah masyarakat itu terjadi karena negara tidak hadir dalam menengahi masalah. Negara cuci tangan dan bahkan menjadi bungker bagi penista agama. Begitu yang dilecehkan Ma'ruf Amien, negara segera bertindak menangkap pelakunya. Aneh bukan ?

Dahulu, Mahfud menyebut siapapun yang masuk sistem demokrasi akan otomatis menjadi iblis. Tampaknya, dia sedang mempraktikkan apa yang pernah diucapkannya. [].

Posting Komentar

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget