Oleh: Ustadz Choirul Anam
Setiap orang memiliki latar belakang, pengalaman, dan cara pikir sendiri-sendiri... Dengan semua itu, kemudian seseorang berpikir dan bersikap. Jadi, dapat dipastikan pemikiran dan sikap setiap orang berbeda-beda dipengaruhi oleh latar belakang dan pengalamannya.
Daripada menilai orang (krn sudah terlalu lama energi saya habis unk menilai orang lain), saya lebih senang menceritakan pengalaman hidup saya sendiri yang pernah mengalami beberapa fase pemikiran, perasaan dan sikap dalam hidup ini.
Alhamdulillah semenjak kecil saya belajar Islam, baik akidah, syariah maupun tasawuf. Bahkan semenjak SMP saya sdh belajar kitab hikam dan syarahnya.
Apakah dengan belajar tasawuf, saya jadi orang yang tawadlu dan jauh dari sikap takabur?
Mestinya begitu. Tetapi, pada saat itu saya merasa menjadi seorang anak kecil yang paling tawadlu dan paling sufi. Saya baru sadar kemudian hari, bahwa justru saat itulah saya justru paling takabur dan jauh dari nilai-nilai tasawuf. Pada saat itu, saya merasa lebih tinggi dari yang lain, karena merasa telah belajar sufi, belajar ilmu hati, ilmunya para wali.
Saat melihat orang melaksanakan Islam dan syariahnya, tanpa saya sadari, muncul "rasa iri" dan "rasa unk meremehkannya" dengan memgatakan: "Ah, levelnya masih rendah, masih level syariah, belum level haqiqoh (hakikat). Masih fokus kulit, blm menghayati substansi".
Saat melihat orang dari kelompok Islam lain, tanpa meneliti, hati langsung berkata: "Ah, bukan ahlus sunnah. Hanya kumpulan orang-orang yang baru belajar Islam. Atau hanya kumpulan pengabdi raga, bukan hati. Kumpulan orang-orang level rendah, yang belum sampai level haqiqoh".
Pada saat mendengar orang mengajak penerapan syariah, hati langsung menghakimi: "Ah, sok islamy. Sok pinter. Sok suci. Sok taqwa. Para ulama yg levelnya tinggi, sudah meninggalkan ajakan level rendah tersebut".
Pada saat mendengar kata dakwah yg diucapkan orang yg tidak saya kagumi, hati langsung berkata: "Sok alim. Capek-capek ngurusi orang, menata hatinya sendiri juga belum tentu bisa". Apalagi jika melihat da'i yang baca Arabnya salah, rasanya "ingin muntah", lalu hati berkata "alif bengkok aja tidak tahu, sok menasihati orang".
Sebaliknya, saya mendengarkan pidato atau kisah-kisah orang yang saya kagumi, pokoknya serasa mendengar kisah dari surga. Semakin tidak masuk akal, semakin merasa hati bergetar dan terasa semakin hebat. Apalagi tentang kisah2 tokoh yang sampai pada maqom hakikat dan sudah mampu melampaui syariah. Rasanya jiwa ini melayang.
Tak ada salah dan sikap kritis, kepada orang-orang yang saya idolakan. Sebaliknya, kepada tokoh yang tidak saya kenal (apalagi yang bersebrangan dg tokoh yg saya idolakan) yang ada hanya image negatif. Tidak ada alasan apapun, pokoknya negatif dan menganggapnya levelnya rendah.
Saat mendengar anak muda bicara khilafah, rasanya sangat "neg". Kesan yang ada hanyalah anak muda bodoh, berpikiran sempit, telah dicuci otaknya oleh orang-orang yang haus kekuasaan, ekstrimis kacangan dan sebareg kesan negatif lainnya. Padahal terus terang saya tdk tahu apa-apa ttg orang yang saya nilai.
Itulah saya yg merasa telah belajar tasawuf. Yang merasa berada di level yg lebih tinggi dari syariah. Yang merasa belajar ilmu hati dan hikmah. Yang merasa orang lain sebagai sok islamy, padahal hanya di level kulit. Sementara saya, merasa berada di maqam (level) yang lebih tinggi.
Tentu saja, saya telah tertipu oleh takabur saya. Saya telah ditipu oleh setan kecil. Belajar ilmu hati telah mengotori hati saya. Itulah saya yang telah salah paham tentang ilmu tasawuf.
Terus terang, ilmu tasawuf sesungguhnya sesuatu yang luar biasa jika dihayati dengan benar. Hati akan bersih dan tulus. Semua akan diisi ketundukan kepada Sang Maha Pencipta. Tak ada hasrat apapun kecuali kecintaan kepada Sang Maha Perkasa.
Namun, saya terus terang sangat naif. Belajar tulus justru menjadi sok tulus. Belajar Islam justru menjadi sok islam. Belajar kemurnian justru menjadi sok murni. Belajar merendahkan diri justru menyombongkan diri. Belajar menghargai sesama, tetapi justru merendahkan sesama dengan menganggap orang lain tak bisa menghargai sesama.
Belajar tentang diri sendiri, tetapi justru saya gunakan unk menilai orang lain, dengan melupakan diri sendiri.
Itulah saya yang tertipu. Saya tidak tahu apakah sekarang saya sudah siuman atau belum. Ya Allah sadarkanlah diri ini.... dan juga saudara-saudara saya yang memiliki sikap seperti saya....
Ijinkan saya berbahagia melihat orang-orang memperjuangkan Islam. Bahagiankanlah hati saya saat melihat orang lain menyuarakan syariah. Berikanlah perasaan gembira melihat orang lain memurnikan dirinya. Jauhkan sikap meremahkan orang lain dengan anggapan "sok Islamy".
Wallahu a'lam.
--
Posted HALQOH NEWS at 3/10/2017 12:42:00 AM
Setiap orang memiliki latar belakang, pengalaman, dan cara pikir sendiri-sendiri... Dengan semua itu, kemudian seseorang berpikir dan bersikap. Jadi, dapat dipastikan pemikiran dan sikap setiap orang berbeda-beda dipengaruhi oleh latar belakang dan pengalamannya.
Daripada menilai orang (krn sudah terlalu lama energi saya habis unk menilai orang lain), saya lebih senang menceritakan pengalaman hidup saya sendiri yang pernah mengalami beberapa fase pemikiran, perasaan dan sikap dalam hidup ini.
Alhamdulillah semenjak kecil saya belajar Islam, baik akidah, syariah maupun tasawuf. Bahkan semenjak SMP saya sdh belajar kitab hikam dan syarahnya.
Apakah dengan belajar tasawuf, saya jadi orang yang tawadlu dan jauh dari sikap takabur?
Mestinya begitu. Tetapi, pada saat itu saya merasa menjadi seorang anak kecil yang paling tawadlu dan paling sufi. Saya baru sadar kemudian hari, bahwa justru saat itulah saya justru paling takabur dan jauh dari nilai-nilai tasawuf. Pada saat itu, saya merasa lebih tinggi dari yang lain, karena merasa telah belajar sufi, belajar ilmu hati, ilmunya para wali.
Saat melihat orang melaksanakan Islam dan syariahnya, tanpa saya sadari, muncul "rasa iri" dan "rasa unk meremehkannya" dengan memgatakan: "Ah, levelnya masih rendah, masih level syariah, belum level haqiqoh (hakikat). Masih fokus kulit, blm menghayati substansi".
Saat melihat orang dari kelompok Islam lain, tanpa meneliti, hati langsung berkata: "Ah, bukan ahlus sunnah. Hanya kumpulan orang-orang yang baru belajar Islam. Atau hanya kumpulan pengabdi raga, bukan hati. Kumpulan orang-orang level rendah, yang belum sampai level haqiqoh".
Pada saat mendengar orang mengajak penerapan syariah, hati langsung menghakimi: "Ah, sok islamy. Sok pinter. Sok suci. Sok taqwa. Para ulama yg levelnya tinggi, sudah meninggalkan ajakan level rendah tersebut".
Pada saat mendengar kata dakwah yg diucapkan orang yg tidak saya kagumi, hati langsung berkata: "Sok alim. Capek-capek ngurusi orang, menata hatinya sendiri juga belum tentu bisa". Apalagi jika melihat da'i yang baca Arabnya salah, rasanya "ingin muntah", lalu hati berkata "alif bengkok aja tidak tahu, sok menasihati orang".
Sebaliknya, saya mendengarkan pidato atau kisah-kisah orang yang saya kagumi, pokoknya serasa mendengar kisah dari surga. Semakin tidak masuk akal, semakin merasa hati bergetar dan terasa semakin hebat. Apalagi tentang kisah2 tokoh yang sampai pada maqom hakikat dan sudah mampu melampaui syariah. Rasanya jiwa ini melayang.
Tak ada salah dan sikap kritis, kepada orang-orang yang saya idolakan. Sebaliknya, kepada tokoh yang tidak saya kenal (apalagi yang bersebrangan dg tokoh yg saya idolakan) yang ada hanya image negatif. Tidak ada alasan apapun, pokoknya negatif dan menganggapnya levelnya rendah.
Saat mendengar anak muda bicara khilafah, rasanya sangat "neg". Kesan yang ada hanyalah anak muda bodoh, berpikiran sempit, telah dicuci otaknya oleh orang-orang yang haus kekuasaan, ekstrimis kacangan dan sebareg kesan negatif lainnya. Padahal terus terang saya tdk tahu apa-apa ttg orang yang saya nilai.
Itulah saya yg merasa telah belajar tasawuf. Yang merasa berada di level yg lebih tinggi dari syariah. Yang merasa belajar ilmu hati dan hikmah. Yang merasa orang lain sebagai sok islamy, padahal hanya di level kulit. Sementara saya, merasa berada di maqam (level) yang lebih tinggi.
Tentu saja, saya telah tertipu oleh takabur saya. Saya telah ditipu oleh setan kecil. Belajar ilmu hati telah mengotori hati saya. Itulah saya yang telah salah paham tentang ilmu tasawuf.
Terus terang, ilmu tasawuf sesungguhnya sesuatu yang luar biasa jika dihayati dengan benar. Hati akan bersih dan tulus. Semua akan diisi ketundukan kepada Sang Maha Pencipta. Tak ada hasrat apapun kecuali kecintaan kepada Sang Maha Perkasa.
Namun, saya terus terang sangat naif. Belajar tulus justru menjadi sok tulus. Belajar Islam justru menjadi sok islam. Belajar kemurnian justru menjadi sok murni. Belajar merendahkan diri justru menyombongkan diri. Belajar menghargai sesama, tetapi justru merendahkan sesama dengan menganggap orang lain tak bisa menghargai sesama.
Belajar tentang diri sendiri, tetapi justru saya gunakan unk menilai orang lain, dengan melupakan diri sendiri.
Itulah saya yang tertipu. Saya tidak tahu apakah sekarang saya sudah siuman atau belum. Ya Allah sadarkanlah diri ini.... dan juga saudara-saudara saya yang memiliki sikap seperti saya....
Ijinkan saya berbahagia melihat orang-orang memperjuangkan Islam. Bahagiankanlah hati saya saat melihat orang lain menyuarakan syariah. Berikanlah perasaan gembira melihat orang lain memurnikan dirinya. Jauhkan sikap meremahkan orang lain dengan anggapan "sok Islamy".
Wallahu a'lam.
--
Posted HALQOH NEWS at 3/10/2017 12:42:00 AM
Posting Komentar